Saturday 6 October 2012

“BACH IS JAZZ” - Artikel Staccato, Oktober 2012

“BACH IS JAZZ”
Artikel Staccato – Oktober 2012
Oleh: Michael Gunadi Widjaja



KONSEP REVOLUSIONER BACH

Dunia seolah sudah menorehkan takdirnya bahwa akan ada sosok manusia seperti Johann Sebastian Bach. Dari silsilah keturunan Bach, dapat dirunut bahwa 5 generasi keluarga Bach, semuanya adalah pemusik professional. Kakek moyang dan generasi terdahulu dari keluarga Bach adalah organis dan pembuat orgel pipa, di sebuah desa kecil di bagian timur Jerman. Meskipun secara ilmiah perlu dibuktikan, namun setidaknya silsilah genetis semacam ini bisa menjadi satu faktor yang membuat Bach menjadi seorang jenius musik dengan konsep pembaharuan musiknya yang fantastis.


Konsep pembaharuan musik inilah yang menjadikan Bach berbeda dengan the great composer yang lainnya. Bach mengusung konsep bermusik yang untuk ukuran jaman itu benar-benar baru, revolutioner dan mencengangkan. Dapat dikatakan bahwa Bach adalah seorang “Avant Garde” di jamannya. Dari sisi inilah kita bertolak untuk dapat mengatakan bahwa BACH IS NOT JUST CLASSICAL MUSIC..but BACH IS (also) JAZZ.

Pembaharuan yang dilakukan Bach lebih berupa “pendobrakan” terhadap kemapanan pakem bermusik yang popular saat itu. Tengok saja misalnya Suita untuk Unaccompaniment Cello - suita untuk cello yang mandiri, tanpa iringan. Sebelum lahir komposisi Bach untuk cello mandiri, orang sudah membuat Ricercare untuk cello tanpa iringan. Tetapi dengan virtuositas yang sangat rendah dan tidak bagus. Bach membuat cello mandiri menjadi sebuah instrumen dengan virtuositas sangat tinggi dan sempurna sampai pada tatanan materi sebuah grand concert.

Upaya mengangkat kemandirian sebuah instrumen, juga merupakan sebuah fenomena penting dalam perkembangan musik Jazz. Dizzie Gillespie misalnya, ia dikenal karena terompetnya yang berbentuk cabang seperti tanduk rusa. Padahal terompet tersebut dapat melengkung bercabang karena rusak tergencet truk! Namun seperti Bach, Dizzie Gillespie membuat konsep kemandirian bermusik untuk terompet dengan keadaan rusak sedemikian itu. Sajian Free Jazz ala Miles Davis dalam batas tertentu juga adalah semburat konsep Bach. Dalam Free Jazz nya, secara lanskap kompositoris, Miles Davis membuat semua instrumen sebagai entitas yang mandiri. Jadi bukan siapa mengiringi siapa, melainkan masing-masing berdiri mandiri dalam sebuah koridor kompositoris yang sudah ditentukan.

Hal lain yang membuat Bach bisa disebut “Jazz” adalah filosofi musiknya. Karya Bach seolah dibingkai oleh filosofi “Panta Rei“ mengalir sebagaimana hakekatnya. English Suite Bach adalah sebuah suita yang terus mengalir bak aliran sungai yang hampir tak pernah berhenti. Jarang ada komposer yang memiliki filosofi bagi lanskap karyanya. Umumnya para komposer melakukan pengembangan konsep musikalitas DAN BUKAN MENGUSUNG SEBUAH FILOSOFI BARU, berbeda dengan Bach. Dalam Jazz juga terdapat banyak konsep dengan filosofi yang “baru”. Konsep dan filosofi Raga India dalam metrum 5/4 Dave Brubeck, Ritmik adiksi Africa dari Miles Davis, Tangganada baru lengkap dengan filosofisnya dari The Modern Jazz Quartet.

 

UNSUR IMPROVISATORIS BACH

Tidak banyak disadari bahwa gaya musikal Bach dalam esensinya adalah improvisasi. Bach adalah improvisator terbaik di jamannya. Musik Bach yang sejati selayaknya dibunyikan dengan penuh improvisasi, meski tentu improvisasinya bukan berwujud frase baru. Adalah keliru (jika tidak mau dikatakan salah) jika memainkan komposisi Bach secara tekstual kaku. Filosofi dan lanskap musikalitas Bach akan makin nampak jika performer senantiasa ber-“improvisasi” dalam bentuknya yang tersamar sekalipun. Improvisasi dalam konteks interpretasi Bach tentu bukanlah tempo rubato saat kita memainkan karya Chopin.

  


Sifat improvisatoris musik Bach inilah yang menjadikan musik Bach sangat luwes untuk dibawakan dalam ranah Jazz. Adalah Jacques Loussier, pianis Perancis yang bersama Trionya berhasil melegenda dengan membawakan repertoireBach in Jazz”. Ada sepenggal kisah unik dari wawancara Jacques Loussier dalam footnote DVD nya, yang kiranya dapat lebih mempertegas opini bahwa “Bach is Jazz”.

Semasa masih mempelajari piano klasik di usia muda, Jacques Loussier sudah sangat tertarik dengan musik karya Bach, terutama repertoire dalam Notebook for Anna Magdalena Bach. Loussier memainkan repertoire tersebut berkali-kali, puluhan kali dan bahkan ratusan kali. Setelah ratusan kali memainkan, ia merasa bahwa musik Bach bisa disisipi dan ditambahkan elemen-elemen lain agar memiliki nuansa yang unik. Mulailah Jacques Loussier bereksperimen, dia mulai mengubah tempo, kemudian dia mulai mengubah nilai notnya, harmoninya mulai dia utak-atik, sampai akhirnya dia mencoba berimprovisasi dengan menggunakan tema melodi Bach sebagai landasannya.

Saat melakukan improvisasi, Loussier muda sebetulnya tidak begitu paham akan tata gramatik musikal Jazz. Kemudian dia banyak bergaul dengan para musisi Jazz dan berdialog. Betapa terkejutnya ia bahwa ternyata sangat banyak tokoh Jazz yang mengolah musik Bach untuk diimprovisasi dalam tata gramatik Jazz. Selain sifat musiknya itu sendiri, aspek teknik kompositoris dalam musik Bach sangat memungkinkan untuk dilakukan pengolahan yang sangat improvisatif.

Berikut saya sertakan cantus firmus dari karya Bach dalam “Notebook for Anna Magdalena Bach”. Judulnya “MUSETTE”. Dalam birama biner, lanskap melodiknya seperti ini:

(gambar 1)

Dari lanskap melodik tersebut, kita dapat melakukan pengolahan dengan relatif mudah,
misalnya dengan lanskap melodik seperti ini:

(gambar 2)

Nampak bahwa biramanya dengan sangat luwes bisa diubah menjadi common time. Alur melodiknya juga bisa dikembangkan sampai pada pengembangan harmoniknya. Hal semacam ini akan sangat sulit dilakukan pada musik karya komposer lainnya. Misalnya saja karya Vivaldi. Kita harus berkeringat dahulu untuk melakukan pengembangan sebagaimana yang kita lakukan terhadap karya Bach.

Pokok persoalan berikutnya adalah, apa gunanya mengetahui bahwa “Bach is Jazz”? Secara ekonomi dan finansial tentu tak ada gunanya sama sekali. Bahkan mungkin hanya merupakan bacaan yang dibaca sepintas kilas karena ada gambarnya saja. Di sisi lain, jika orang mau meluangkan waktunya, mestinya banyak hal yang dapat kita maknai dan kita jadikan makna untuk memperkaya rona kehidupan kita.

Bahwa musik memang senantiasa memiliki tata gramatik dan bahasanya sendiri. Namun tetap ada pertalian universal yang mengatasnamakan passion. Bahwa apapun genre musiknya, passion nya selalu hadir dalam kandungan yang sama. Orang boleh berbangga dengan musik Klasik, orang boleh juga picik mengunggulkan jenis musik tertentu. Fenomena “Bach is Jazz” sudah menjelaskan bahwa ada benang merah, yakni passion yang mempertautkan aspek musikal apapun itu genrenya.

Orang sering menganggap bahwa Bach adalah segalanya dalam musik Klasik. Anggapan itu sah sah saja adanya. Bach memang super extraordinary dan termasuk salah satu karya Tuhan yang paling representatif dalam musik. Yang jadi persoalan adalah orang sering menganggap bahwa musik Bach itu harus tepat teks tanpa melihat konteksnya. Sejatinya musik Bach sangat kompleks, termasuk salah satunya adalah sifatnya yang improvisatif.

Jazz sendiri sering dipandang sebagai ranah musikal yang penuh “kekeliruan”. Dalam batas tertentu memang benar. Tata harmoni Jazz misalnya, dapat membuat paradigma harmoni klasik menjadi sakit mata dan sakit kepala. Setidaknya “Bach is Jazz” mau berujar bahwa bukan pada tempatnya memperbandingkan atau bahkan menelaah dan juga mengkritisi genre musik melalui sesuatu yang bukan ranahnya. Yang utama barangkali adalah bagaimana mengedepankan passion, sehingga apapun musik kita sejauh itu passionate dan jujur, itu adalah musik yang sejati.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.