Sunday 7 August 2016

GITAR KLASIK: "SI KAYA YANG TERMISKINKAN" - by: Michael Gunadi Widjaja

GITAR KLASIK:
"SI KAYA YANG TERMISKINKAN"
by: Michael Gunadi Widjaja


PENGANTAR
Tulisan ini mengambil bentuk paparan dan sama sekali bukan berupa, dan tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah. Meski beberapa data faktual disajikan, hal tersebut semata-mata adalah materi penunjang terhadap hal-hal yang bertalian dengan pokok paparan. Sifat paparan yang dipergunakan adalah telaah popular. Jadi dengan demikian, pembahasan tentang sejarah pun merupakan sebuah tinjauan popular dan sama sekali bukan penyampaian telaah historis.

Metode penalaran paparan, adakalanya menggunakan penalaran induktif. Hal ini berlaku bagi misalnya sebuah sajian fakta sejarah. Penalaran secara deduktif juga dipergunakan terutama ketika menyampaikan gagasan yang berdasar pada premis yang tentu secara subyektif telah terujikan. Penggunaan pustaka, baik buku maupun sumber dari internet, termasuk video, saya pergunakan sebagai materi pendukung metodologi penalaran. Itulah mengapa dalam paparan ini tidak saya pergunakan catatan kaki. Beberapa pustaka yang kiranya dapat menunjang penelaahan lebih lanjut, tetap saya cantumkan dalam daftar pustaka.

Tema pokok pemaparan adalah sebuah keterkaitan, baik secara masif, masif holistik maupun masif parsial dan parsial, pada Musik Klasik di tanah air dalam pertaliannya dengan seni, sejarah dan masyarakat. Penulis meletakkan inti pemaparan pada sebuah rangkai peristiwa yang menurut penulis, cukup unik dan dapat mewakili dengan layak tentang keadaan dan keberadaan Musik Klasik di tanah air, dalam rentang waktu dua sampai tiga tahun terakhir. Rangkai peristiwa tersebut menyatu pada GITAR KLASIK. Gitar Klasik dalam paduannya sebagai seni dan dalam ranah seni, Gitar Klasik dalam napak tilas keberadaannya di tanah air dan sosio-kultural masyarakat terhadap alat musik “Klasik” yang semestinya sangat memasyarakat, namun juga termarjinalkan.


BATASAN GITAR KLASIK
Gitar Klasik atau Classical Guitar dalam tulisan ini, adalah alat musik akustik non elektrik, terbuat dari kayu dengan beberapa bagian terbuat dari logam, berdawai enam dari bahan nilon dan lazim dimainkan dengan dipetik (meski dalam Bahasa Inggris diistilahkan dengan PLUCK dan bukan PICK).

Istilah KAYA merujuk pada batasan kamus peristilahan pada umumnya yakni BERKELEBIHAN. Sedangkan MISKIN adalah lawan kata dari KAYA. Dengan demikian, per definisi, judul yang berbunyi: GITAR KLASIK: “SI KAYA YANG TERMISKINKAN,” memiliki makna denotatif sebuah peristiwa yang memarjinalkan potensi Musik Klasik, apapun dan betapapun konsekuensinya.


VIHUELA

PERKEMBANGAN GITAR KLASIK
Terdapat beberapa fase penting dalam perkembangan Gitar Klasik sampai pada keberadaannya seperti sekarang ini:

Banyak para musikolog yang meyakini bahwa gitar berasal dari keluarga vihuela dan chitarra roman - alat musik kuno yang sangat populer di Eropa. Dari vihuela dan chitarra roman, yang berkembang di Syria menjadi alat musik oud (gitar Arab dengan bodi seperti buah terong), dan yang berkembang di Spanyol menjadi gitar seperti yang kita kenal sekarang ini. Napak tilas semacam inilah yang kemudian menjadikan Gitar Klasik selalu diasosiasikan dengan SPANYOL, baik secara sosio-kultural maupun dari ranah khasanah musiknya.

OUD

Khusus untuk bentuk gitar klasik seperti yang kita kenal sekarang adalah merupakan jasa dari Antonio de Torres Jurado. Gitar klasik yang kita sekarang adalah keturunan dari hasil rancangan Torres. (Romanilos, José. L. “Antonio De Torres: Guitar Maker – His Life and Work”. 1987. Great Britain: Element Books.)

FRANSISCO TARREGA

TARREGA: PELOPOR GITAR KLASIK
Sejak awal perkembangan gitar, sebetulnya telah banyak ditulis buku-buku tentang metode dan teknik bermain gitar, seperti: Fernando Sor, Dionisio Aguado, dan Ferdinando Carulli. Namun debut mereka seakan terpupuskan oleh kepopuleran lute (alat musik petik mirip oud) yang masa itu sangat populer di kalangan istana kerajaan di Eropa. Iklim segar bagi gitar nampaknya dimulai ketika Fransisco Tarrega memulai debutnya. 

FOOT STOOL

Dari Tarrega inilah kita mengenal posisi memegang gitar seperti yang lazim digunakan gitaris klasik masa kini, yakni: gitar bersandar pada kaki kiri yang ditopang oleh foot stool. Posisi ini memungkinkan tangan kiri dan jari-jari bergerak dengan sangat leluasa.

ANDRES SEGOVIA

DOBRAKAN SEGOVIA
Sayangnya Tarrega hanya kerap bermain bagi kalangan yang sangat terbatas, hanya untuk para siswa dan sahabat dekatnya saja. Beruntung, dari salah satu siswanya, ada yang berhasil membuat debut yang menakjubkan, dan bahkan menjadikan gitar memperoleh harkat dan martabat yang layak bagi sebuah alat musik seni. Dia adalah ANDRÉS SEGOVIA, legenda gitar yang abadi.


Debut Andrés Segovia dimulai ketika dia mengadakan sebuah konser. Sebelum konser, tersebar berita bahwa dalam konser nanti komposisi karya Johann Sebastian Bach akan diperdengarkan melalui gitar. Komposisi yang dimaksud adalah CHACONNE” yang diperuntukkan bagi solo biola. Banyak orang yang mentertawakan bahkan melecehkan Andrés Segovia. Bagaimana mungkin, gitar yang saat itu lebih populer hanya sebagai pengiring lagu rakyat jelata bisa memainkan score biola yang rumit dan kompleks? Dan ternyata Andrés Segovia mampu menepis semua cibiran. “Chaconne” karya J.S. Bach berhasil dimainkan dengan sama indahnya seperti saat dialunkan dengan biola. Sejak itulah pamor gitar menjadi naik. Bukan sekedar alat musik pengiring belaka, melainkan juga sebuah alat musik dengan virtuositas yang tinggi. 

(Cumpiano, William. Andrés Segovia, Spanish Guitarist: Biography”. http://cumpiano.tripod.com/Home/Articles/Transcriptions/Segovia/Segtransc/Chaconne.html)


KEKAYAAN GITAR KLASIK
Tentu sangat tidak adil jika kita membandingkan dan mempersandingkan Gitar Klasik dengan instrumen Piano. Piano (Pianoforte) memang dikenal sebagai “Raja dari semua alat musik“. Meski demikian, Gitar Klasik adalah sebuah Versatile Music Instrument. Alat musik yang luwes. Ada cerita hikayat yang selalu didengang-dengungkan di kalangan para Gitaris dan siswa gitar, bahwa di tangan Francisco Tarrega, Gitar bisa MENANGIS DAN TERTAWA. Tarrega juga memulai eksplorasi imitasi bunyi dengan dawai gitar. Diantaranya adalah imitasi bunyi snare drum, tambur, klarinet, sampai pada bunyi instrumen tiup bassoon.

Hal lain yang nampaknya sungguh menjadikan Gitar Klasik sangat kaya, adalah kemampuannya menghadirkan TONE COLOR atau WARNA BUNYI (saya lebih suka memakai istilah bunyi daripada suara, karena suara/voice merujuk pada sesuatu yang sifatnya transenden). Piano memang luar biasa, namun sangatlah sulit untuk menghadirkan warna bunyi pada sebuah Piano. Sedangkan pada Gitar Klasik, tiap lokus sepanjang seutas dawai adalah sebuah warna bunyi “baru”. Jadi, pada Gitar Klasik, memetik dekat lubang bunyi dan memetik dekat pada ujung badan gitar, memiliki warna bunyi yang sangat berbeda. Sesederhana itu. Dalam link video berikut, dapat disaksikan dan didengarkan, Andres Segovia mendemonstrasikan kekayaan Gitar Klasik 



Dengan demikian, secara sangat sederhana, kita dapat mengatakan tentang kekayaan Gitar Klasik, sebagaimana dikatakan Andres Segovia dalam video di atas, “Every instrument is on the guitar, but in a small piece“. Tentu saja portabilitas dan harga yang relatif terjangkau (meski ada juga gitar konser seharga ratusan juta rupiah) merupakan juga sebuah kekayaan bagi Gitar Klasik.


NAPAK KILAS GITAR KLASIK DI INDONESIA
Berkaitan dengan awal masuknya Gitar Klasik di Indonesia, penulis tidak menemukan dokumen apapun yang otentisitasnya sahih. Namun demikian, hikayat yang paling popular adalah bahwa Gitar (berbentuk Gitar Klasik) masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang dari Portugis pada abad ke-17. Kala itu terdapat sejumlah tawanan asal Portugis di Malaka, yang dimukimkan oleh Belanda di kawasan berawa-rawa di Jakarta Utara, di sebuah daerah yang kemudian dikenal sebagai Kampung Tugu. Agar para tawanan tersebut tidak bosan, mereka diberi sarana hiburan dengan kegiatan bermain musik. Alat musik yang mereka gunakan saat itu adalah gitar. 

Dari rangkai peristiwa ini, dapatlah dikatakan bahwa awal masuknya Gitar (Klasik) di Indonesia, memiliki keadaan yang mirip dengan awal pertumbuhan Gitar Klasik pre Segovia, yaitu sebagai sarana hiburan yang bersahaja dan sama sekali bukan untuk keperluan virtuositas permainan musik. Keadaan semacam ini nantinya akan berpengaruh terhadap cara pandang dan pola piker masyarakat, baik awam maupun bahkan kalangan Gitar Klasik sendiri, terhadap keberadaan Gitar Klasik.


ZAMAN KEEMASAN GITAR KLASIK DI INDONESIA
Zaman keemasan Gitar Klasik di Indonesia adalah dalam dekade tahun 70-an. Dalam karya tulisnya, DR. Andre Indrawan, yang juga seorang gitaris klasik, menorehkan beberapa fase penting dalam zaman keemasan Gitar Klasik di Indonesia yang saya sarikan berikut ini:

“Minat yang besar pada anak-anak muda Indonesia terhadap gitar dan kepopuleran gitar itu sendiri tentunya tidak semata-mata tumbuh begitu saja. Sebelum dibukanya kursus-kursus gitar pada sekitar tahun 70-an, gitar dan alat-alat musik yang mirip gitar sudah lama digunakan di negeri ini. 

Gitar telah dikenal sejak lama dalam ensembel Keroncong dan bahkan dalam kesenian tradisional Cirebon, Tarling (kependekan kata dari gitar dan suling), yaitu seni tari yang diiringi oleh duet gitar berukuran standar dan seruling bambu. 

Kepopuleran gitar di Indonesia juga didukung oleh keberadaan berbagai alat musik lain yang memiliki kemiripan dengan gitar, yang telah lama ada sebelum gitar masuk ke Indonesia. Alat musik tersebut di antaranya ialah gitar tradisional berdawai tiga yang disebut Sampek dari Kalimatan Timur, dan beragam model gitar tradisional berukuran kecil yang berdawai dua yaitu Hasapi, Kulcapi, dan Husapi, dari Sumatra Utara.”

(Indrawan, Andre. “Sekilas Tentang Perkembangan Awal Pendidikan Gitar Klasik di Indonesia” 2008. http://musikalfian.blogspot.co.id/2008/05/sekilas-tentang-perkembangan-awal.html)


Pada zaman keemasannya, Gitar Klasik di Indonesia dapatlah dikatakan sempat “berbicara lantang“ dalam forum internasional. Banyak gitaris kelas dunia yang konser di tanah air. Hal ini sebetulnya masih berlangsung hingga saat ini, namun tentu dengan suasana, persepsi dan apresiasi yang sangat berbeda. Ditambah lagi beberapa gitaris Indonesia memperoleh penghargaan dan prestasi sampai ke tingkat Asia Tenggara. Banyak juga perusahaan dari negara asing yang menaruh perhatian pada perkembangan pendidikan gitar di Indonesia. Negara-negara Eropa pun memberikan bantuan baik berupa tenaga pengajar, maupun sarana pendidikan Gitar Klasik.

Dari beberapa fase keberadaan Gitar Klasik di tanah air, ada beberapa hal yang menarik untuk kita tatap tajami. Bahwa awal masuknya Gitar Klasik, yang adalah sebagai sarana hiburan belaka, memiliki dua dampak. Di satu sisi, Gitar (Klasik) dapat sedemikian populer karena kebersahajaannya. Di lain sisi kebersahajaan ini, sesuai modernitas zaman akan mempengaruhi persepsi dan apresiasi khalayak, terutama tentang virtuositas musikal dari Gitar Klasik itu sendiri.


Gitar Klasik, sehubungan dengan persamaannya dengan beberapa alat musik etnis Indonesia juga telah memunculkan permasalahan. Persepsi dan daya apresiasi khalayak seberapa pun besarnya pasti akan terkondisi sebagaimana dengan keberadaan alat musik tradisi. Dalam artian sampai pada suatu masa akan diperlukan sebuah revitalisasi. Hal itu Nampak pada antusiasme terhadap konser Gitar Klasik di tanah air dalam tiga tahun terakhir, yang nanti akan dijabarkan oleh penulis dengan lebih seksama.

Keterlibatan komponen manca negara. Di satu sisi adalah baik karena membuka peluang bagi tafsir Musik Klasik sebagai “Lingua Franca” terutama di Eropa. Namun demikian, persoalannya adalah bagaimana metode yang pas dengan keadaan di tanah air. Sebab idealnya, kalau Musik Klasik memang adalah Human Heritage, metode pembelajarannya tidak perlu mencerabut kondisi sosio-kultural lokal. Baru saat si pemusik sampai pada tingkat keprofesian, saatnyalah berpaling pada kultur asli Musik Klasik yang sejati.

Permasalahan seperti di atas, sebetulnya bukanlah permasalahan utama Gitar Klasik di Indonesia. Permasalahan di atas adalah permasalahan yang timbul sebagai dampak latar sejarah keberadaan Gitar Klasik di Indonesia.

METODE PEMBELAJARAN GITAR KLASIK DI INDONESIA
Metode pembelajaran Gitar Klasik di tanah air, menurut pendapat penulis, sangat perlu untuk ditelaah dan ditatap tajami. Terutama dalam kaitannya dengan keberadaan metode pembelajaran Musik Klasik pada umumnya di tanah air, yang semestinya sangat besar pengaruhnya. Kenyataannya, hal semacam itu tidak terjadi dan malahan Gitar Klasik di tanah air sibuk dan terasyikkan dalam ranahnya sendiri.

Sejauh pengamatan penulis, metode pembelajaran Gitar Klasik di tanah air dapat diikhtisarkan sebagai berikut:


1. METODE TRADISIONAL
Metode ini dapat dikatakan sudah sangat “klasik” dan dibuat, serta disunting oleh para legenda gitar. Yang paling terkenal dan paling sering dipergunakan adalah metode dari FERDINANDO CARULLI, FERNANDO SOR, DIONISIO AGUADO dan MATTEO CARCASSI. Metode tradisional Gitar Klasik, dalam esensinya dapat dipersamakan dengan metode pembelajaran piano dalam kelazimannya, yang dapat digolongkan sebagai konservatif. Siswa dididik (meski sebetulnya lebih tepat diistilahkan sebagai “dilatih”) dengan teknik dasar terlebih dahulu. Tujuannya tentu agar didapatkan dasar teknis dan keluwesan jemari yang selayaknya. Cara belajar seperti ini jelas membutuhkan waktu yang relatif lama. Dan satu hal lagi, sangat sulit diterapkan bagi anak Indonesia dalam situasi zaman sekarang, yang sangat marak oleh serbuan arus budaya populer dan instan.


2. METODE YAMAHA
Jenis metode berikutnya adalah metode yang diperkenalkan oleh YAMAHA MUSIC FOUNDATION, Jepang. Semua buku pelajarannya disunting oleh Tadashi Koizumi. Sosok yang dalam database internet pun tidak tercantum. Metode Yamaha banyak menuai kritik dari para pendidik Musik Klasik. 

Alasan utamanya adalah, metode ini fokusnya seperti hop and jump, alias melompat-lompat. Terlepas dari segala kritik, metode Yamaha dalam batas tertentu, sangat cocok dengan situasi di Indonesia. Gitar Klasik di Indonesia, diapresiasi secara unik oleh masyarakat. Jika misalnya ada anak yang belajar piano selama dua tahun, kemudian diketahui tetangganya, dapat dipastikan si anak tidak akan diminta macam-macam aksi. 

Berbeda dengan Gitar Klasik. Saat tetangga mengetahui bahwa ada seorang anak yang belajar gitar meski baru setahun, sudah hamper pasti si anak tersebut akan didaulat untuk mengiringi - dari mulai nyanyian ulang tahun sampai pada lagu Pop yang top. Yamaha, meski serba sedikit, mampu mengakomodasi keadaan tersebut. Anak sejak awal, meski serba sedikit, diperkenalkan dengan konsep akor dan pola iringan. Sebuah hal yang mustahil didapat dalam metode belajar tradisional.

Beberapa gitaris tanah air juga mencoba menyusun pedoman dan bahkan metode pembelajaran. Sistematikanya sama persis dengan metode tradisional, metode Yamaha, dan/atau secara khusus mencampur aduk (bukan padu) kedua metode. Karya semacam ini tentu sangat perlu untuk terus dikaji dan bahkan dipertanyakan. Karena dalam esensinya, sebuah metode pembelajaran musik, hanya dapat dikatakan layak dan “baik,” jika telah teruji oleh rentang waktu dan prestasi virtuositasnya.


GITAR VS PIANO
Ada saatnya seorang siswa Gitar Klasik ingin memperoleh sertifikasi berstandar internasional. Misalnya ABRSM (Associated Board of Royal School of Music,) sebuah Music Exam Board asal Inggris. Saat menempuh ujian, hal pertama yang akan dialami seorang siswa adalah bahwa PENGUJINYA BUKANLAH SEORANG GITARIS! Umumnya sang “examiner” adalah para pianis. Sudah tentu, secara alami, logika dan subyektif, standar kelulusannya disamakan dengan standar kelulusan siswa piano. Hal ini sebetulnya sah dan baik. Sang penguji pun tentu telah dibekali “pengetahuan” tentang Gitar Klasik. Persoalan akan muncul ketika presisi permainan siswa Gitar Klasik dituntut untuk setara dengan presisi permainan siswa Piano. Hambatan anatomi tubuh dan organologi Gitar Klasik sebetulnya sangat tidak masuk akal jika disetarakan dengan piano. Dan juga memang bukan dalam segi itulah kekayaan Gitar Klasik.

Keadaan ini diperparah misalnya dengan tuntutan tempo saat memainkan tangganada (scale). Sight reading yang bagi siswa Gitar Klasik dapat sangat membingungkan. Karena, ambil satu kasus, nada E4 pada Gitar Klasik, dapat berada dalam empat lokus. Berbeda dengan piano yang geografinya lebih eksakt. Itulah salah satu penyebab mengapa sangat jarang siswa Gitar Klasik di Indonesia yang memegang ijazah International Music Exam Board yang representatif. Secara kausal dan konjungtif akan bermuara pada guru Gitar Klasik di Indonesia. 

Anda bisa telusuri para guru Gitar Klasik di Jakarta. Tanya apakah mereka tahu Sejarah Musik, apakah mereka paham ilmu bentuk dan analisa, apakah mereka pernah mendengar organologi? Hampir 80 persen akan menjawab “TIDAK”. Penulis tidak menyajikan data observasi numerik, namun kebenaran faktual nya sangat mudah didapat dan dipertanggung jawabkan sampai ke tingkat apapun. Mutu guru yang sedemikian, menjadikan Gitar Klasik adalah pilihan bagi sekedar pengisi waktu luang belaka. Jika ini berlanjut, maka jangan pernah bermimpi bahwa masyarakat akan mengapresiasi Musik Klasik melalui Gitar Klasik.


TITIK NADIR GITAR KLASIK DI INDONESIA
Keadaan termiskinkan akan semakin nampak saat kita mengamati konser Gitar Klasik di tanah air. Penulis melakukan observasi faktual, mulai tahun 2012 terhadap konser Gitar Klasik di Istituto Italiano di Cultura, @america, Erasmus Huis, Goethe Haus - semuanya adalah pusat kebudayaan asing di Jakarta, juga Gedung Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki. Rata-rata hanya dipadati hadirin KURANG DARI SERATUS ORANG SAJA. Dengan catatan konser tersebut termasuk konser dari gitaris manca Negara yang tersohor dan didukung puluhan perusahaan sebagai sponsor. Yang menarik adalah, bisa saja fenomena tersebut sebetulnya adalah upaya pemiskinan masyarakat sendiri yang tanpa disadari sudah berlangsung lama dan berulang.

Beberapa pihak menganggap mati surinya konser Gitar Klasik di tanah air adalah imbas dari lesunya musik klasik secara global. Mungkin memang benar demikian. Satu hal yang perlu disorot tajam dan digaris bawahi adalah bahwa telah terjadi sebuah rangkai peristiwa. Apresiasi masyarakat terhadap Musik Klasik melalui instrumen/alat musik yang paling merakyat sekalipun, sudah sampai pada titik nadirnya. Jika berlanjut, akan terjadi hal semacam ini: Konser Musik Klasik, terutama piano akan makin mengundang antusiasme pengunjung. Namun apresiasinya bukan lagi untuk musik, melainkan PRESTIS dan GENGSI. Keadaan ini sekarang sedang berlangsung. Pengunjung konser umumnya mayoritas adalah orang tua yang menghantar anaknya tampil di konser tersebut dan/atau mereka yang bersosialita dengan narsisme media sosial. Karena ternyata, apresiasi melalui alat musik yang merakyat dan punya kaitan tradisi dengan akar masyarakat lokal, telah gagal membahasakan dirinya.


MAKNA PENTINGNYA GITAR KLASIK DI INDONESIA
Terlebih dahulu perlu ditanamkan dan ditandaskan makna pentingnya Gitar Klasik di Indonesia untuk tidak dalam keadaan termiskinkan. Tentu agar instrumen musik yang telah “merakyat” ini dapat terus bicara dengan kefasihannya. Hasil akhirnya adalah, masyarakat yang tidak mampu membeli alat musik puluhan, bahkan ratusan juta tetap dapat menikmati asupan Musik Klasik yang dimaklumi sebagai HUMAN HERITAGE – sebuah harta budaya semesta. Masyarakat marjinal pun punya hak untuk diasup dan mengapresiasinya.

MODERNISASI GITAR KLASIK
Jika Gitar Klasik berada dalam sebuah panggung pertunjukan, ia akan jauh terbelakang dalam hal komposisi panggung. Satu orang duduk, memangku gitar yang berbadan kecil, dan bunyi nya pun lirih. Bandingkan dengan piano yang dan bunyinya sungguh montok. Dengan kata lain, performansi Gitar Klasik MUTLAK HARUS DIUBAH. Dengan visualisasi gambar diam maupun bergerak. Dengan menggandeng instrumen lain dan/atau juga dengan visualisasi ragam gerak.


Ranah repertoar juga dapat dijadikan kemungkinan upaya menghindari keadaan termiskinkan dan pemiskinan. Orang yang pernah kuliah sampai jenjang perguruan tinggi musik tentu sadar bahwa repertoar Gitar Klasik sungguh sangat terbatas. Video para gitaris manca maupun lokal dalam situs video youtube, sudah mensahihkan hal tersebut. Musik yang dibawakan selalu HANYA ITU-ITU SAJA. Mohon senantiasa diingat, bahwa musik yang sama dan berulang pada Musik Klasik, termasuk Gitar Klasik, bukanlah sesuatu hal yang membosankan. Karena tetap ada ruang tafsir personal dan individual bagi si pemusik. Apakah dalam keadaan termiskinkan dan adanya upaya pemiskinan tanpa sadar, kita masih berani berujar demikian untuk Gitar Klasik di tanah air?


MODERNISME dan PEMBAHARUAN. Satu-satunya upaya yang paling masuk akal. Komposisi repertoar Gitar Klasik sudah waktunya mengikuti dan mengalami modernisasi. Digubah oleh orang zaman sekarang. Menggunakan tata gramatik dan retorik musikal bahasa orang zaman sekarang. Dan tentu saja dengan ruang tafsir yang juga adalah perwujudan ide konsep dan konteks orang zaman sekarang. Karya musik zaman Barok tetap dilestarikan, namun tidak menjadi selalu diperdengarkan, karena dapat menjadi katalis kejenuhan. Karya era Romantik yang mengharu biru, memuja transien, dan dinamika meletup-letup, sudah saatnya menjadi kenangan indah berbingkai nostalgia. Ajang festival Gitar Klasik semestinya TIDAK HANYA menampilkan adu teknik performansi dan musikalitas. Melainkan juga menyertakan satu karya BARU, yang digubah oleh si gitaris maupun hasil kerjasama dengan seorang komposer. Festival tingkat Internasional sudah mulai melakukan konsep semacam itu. Bahkan negara tetangga, seperti Filipina akan melaksanakannya di tahun 2016.

Pembaharuan perlu juga dilakukan berkaitan dan bertalian dengan sikap mental dan pola pikir semua pelaku Gitar Klasik – baik itu musisi profesional, siswa, guru, maupun para penggemar Gitar Klasik. Sudah saatnya para pelaku Gitar Klasik di tanah air MEMBUKA DIRI BAGI MODERNISME. Pembaharuan sikap dan pola pikir perlu terus dikembangkan, agar modernisme tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada. Forum diskusi Gitar Klasik melalui media sosial seyogyanya semakin aktif. Pernah ada grup media sosial bagi komunitas penggemar Gitar Klasik di tanah air yang jumlah anggotanya mencapai 3500 orang. Penulis menjadi salah satu administrator grup itu. Secara provokatif, founder menutup grup ini dengan alasan yang tidak jelas. Terlepas apapun masalahnya, mau tidak mau, suka tidak suka, adalah sebuah pemiskinan dengan sikap dan pola piker kerdil. Dan repotnya, gejala semacam ini dapat sewaktu-waktu menjangkiti ajang diskusi dalam ranah Gitar Klasik.


AKHIRUL
Dalam pemikiran penulis, titik tumpunya adalah bahwa Musik Klasik dalam esensinya adalah harta budaya semesta. Siapa pun berhak mengasup dan diasup. Persoalannya, struktur masyarakat dalam arus budaya modern menghadirkan sejumlah tantangan dan tanpa sadar menjadikan Musik Klasik termiskinkan. Meski baru sampai pada kasualita Gitar Klasik. Nampak perlu akan tinjauan sejarah Gitar Klasik dan Musik Klasik disajikan secara kontekstual dalam zaman sekarang dan direvitalisasi. Jika kita tidak ingin tercerabut dari sebuah napak tilas peradaban manusia, yang barangkali adalah sesuatu yang “adiluhung”.

THIS ARTICLE IS SELECTED & FEATURED IN:
by Yayasan Klasikanan



DAFTAR PUSTAKA
1.       Romanilos, José. L. “Antonio De Torres: Guitar Maker – His Life and Work”. 1987. Great Britain: Element Books.
2.       Cumpiano, William. Andres Segovia, Spanish Guitarist: Biography”. http://cumpiano.tripod.com/Home/Articles/Transcriptions/Segovia/Segtransc/Chaconne.html
3.       Andrés Segovia Demonstrates Different Timbres on Guitar”. 2010. https://youtu.be/DJrEl4Nsmsg
4.       Indrawan, Andre. “Sekilas Tentang Perkembangan Awal Pendidikan Gitar Klasik di Indonesia” 2008. http://musikalfian.blogspot.co.id/2008/05/sekilas-tentang-perkembangan-awal.html
5.       Bellow, Allexander. “The Illustrated History of the Guitar”. 1970. New York: Colombo Publication.
6.       Sloane, Irving. “Classical Guitar Construction”. 1984. New York: Sterling Publishing Co.
7.       Summerfield, Maurice. J. “The Classical Guitar: Its Evolution and Its Players since 1800”. Gateshead, Tyne, and Wear: Ashley Mark Pub. Co.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.