Friday 15 July 2016

MUHAMMAD ALI DALAM KENANGAN JAZZ - by: Michael Gunadi (Staccato, July 2016)

“MUHAMMAD ALI 
DALAM KENANGAN JAZZ”
oleh: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, July 2016

MUHAMMAD ALI IN MEMORIAM
Petinju legendaris Muhammad Ali, telah meninggal dunia belum lama ini pada usia 74 tahun. Dunia merasa kehilangan salah satu tokoh, yang ikut mengukir perjalanan sejarah napak tilas peradaban manusia, khususnya di abad ke-20. Muhammad Ali dinobatkan sebagai salah seorang atlet terbesar di abad ke-20. Ali juga dirayakan sebagai atlet yang namanya paling berkibar di abad ke-20. Sosok Muhammad Ali bukan semata seorang petinju. Tak cuma atlet olah raga keras. Dan juga bukan seorang yang dengan jumawa mengobral rangkaian omong kosong. Muhammad Ali adalah sosok yang ikonik. Sebuah nama besar dalam pribadi tangguh. Sosok legenda sejati dan yang terpenting, sepanjang karir dan masa hidupnya, Ali telah banyak memberikan kontribusi bagi kemanusian dan ikut mencerahkan wajah dunia.

BENANG EMAS MUHAMMAD ALI & MUSIK JAZZ
Menjadi menarik,untuk sejenak melakukan renungan dan permenungan. Menarik benang emas antara sosok Muhammad Ali dan Musik Jazz. Bukan sebagai hal yang mengada-ada. Bukan mencari sensasi dengan mencocok-cocokkan fakta. Namun mencari esensi sisi kemanusiaan dan budaya. Bukankah sebuah budaya pada hakekatnya adalah cerminan napak tilas kemanusiaan yang nyata dan bukan sekedar angan yang ngungun dan utopis belaka?


FIGUR MINORITAS
Hal pertama adalah, bahwa Muhammad Ali adalah figur kulit hitam. Tentu saja Ali adalah golongan minoritas yang rawan diskriminasi di negaranya dan pada zamannya. Sama persis dengan Jazz. Jazz sejati adalah BLACK PEOPLE. Sebuah ragam budaya minoritas yang termarjinalkan, ditengah hiruk/pikuk budaya European yang melenggang merajalela dan menancapkan hegemoninya.

Ali adalah sosok pemberontak. Terhadap diskriminasi lingkungan, termasuk dalam hal melakukan kegiatan peribadatan agamanya. Itulah mengapa kemudian Ali, si Cassius Clay mencari dan mendapatkan Hidayah untuk kemudian menjadi pemeluk agama Islam. Sebuah religi yang kala itu sarat stigmatisasi dan rawan gangguan sosial. Ali mengikuti jejak Malcolm X. Yang melakukan pemberontakan berupa pendobrakan melalui Liga Muslim, yang kala itu sangat menjunjung tinggi toleransi dan kesataraan di negara semacam Amerika Serikat. Jazz juga memiliki nasib yang sama dengan Ali. Sebuah budaya marginal. Yang memberontak demi untuk sebuah kesetaraan sosial dan kultural. Demi kesejajaran martabat. Dan seperti halnya Muhammad Ali, pemberontakan Jazz terjadi di negara yang paling getol mendengang dengungkan Demokrasi yang saripatinya adalah “LIBERTE, EGALITE, DAN FRATERNITE.”

INSPIRASIONAL: DARI JALANAN KE PANGGUNG DUNIA
Karir bertinju Muhammad Ali tidaklah seperti Mike Tyson. Ali tidak beranjak dari pertarungan liar jalanan ala Tyson. Muhammad Ali adalah atlet yang terdidik, berintelegensia cemerlang dan mendapat asupan akademik olah raga tinju secara baik. Karir cemerlangnya bukan dimulai dari adu untung simpatik promotor. Melainkan sebagai PERAIH MEDALI EMAS OLIMPIADE BAGI NEGARA AMERIKA SERIKAT.

Jazz pun demikian. Sekalipun tumbuh dari sebuah akar budaya marjinal dan termarjinalkan, Jazz bukanlah sebuah seni jalanan amburadul yang asal-asalan. Pemusik Jazz generasi pertama boleh saja tidak pernah mencecap ilmu musik secara akademis. Namun mereka memiliki passion, intelegensia yang meskipun instingtif namun sangat cemerlang dan juga memiliki konsep. Meski dalam pikiran mereka konsep ini lebih berupa passion yang dipacu untuk menggapai cita-cita.

Dalam Era Modern, saat segalanya menjadi lebih kompleks, jejak langkah karir Muhammad Ali nampak semakin menginspirasi Jazz Modern. Jazz Modern tak sekedar mengandalkan intuisi dan bakat semata. Melainkan mengikutsertakan pula alur dan konsep komposisi yang tertata, runut dan memiliki nilai scholar yang sangat baik.



OLAHRAGA TINJU: SENI & ENTERTAINMENT
Gaya bertinju Muhammad Ali juga bukan semata berlaga dalam olah raga keras. Ali berhasil menjadi manusia pertama yang menjadikan tinju BUKAN SEMATA SEBAGAI SPORT, MELAINKAN SEBAGAI SEBUAH SENI SEKALIGUS ENTERTAINMENT. Maka tak heran jika Muhammad Ali mendapat julukan sebagai SENIMAN RING TINJU. Di tangan Ali, tinju tidaklah seperti gaya Mike Tyson yang slugger main seruduk, hantam dan lawan terkapar.

Bagi Muhammad Ali, tinju adalah sebuah seni pertunjukan. Penampilan Muhammad Ali senantiasa didahului oleh jumpa pers. Dalam jumpa pers tersebut, Ali dengan lantang dan gaya bicara yang ceplas ceplos bahkan kadang arogan, melakukan perang urat syaraf terhadap lawannya. Hal yang tidak pernah, mungkin karena tidak mampu dilakukan petinju manapun. Selesai perang urat syaraf, Ali biasa melanjutkan dengan sesi foto. Di situlah ia berpose dengan kepalan tinjunya bagai seorang Ballerina. Seringkali dimeriahkan dengan banyak perempuan super cantik berpakaian minim.

Saat berada di ring pun, Ali tidak memasang gaya seram bak seorang pembunuh. Melainkan gaya seniman sejati yang tahu benar cara menaklukkan lawan. Cus D Amato, pelatihnya, memperkenalkannya gaya “Hit and Run”. Ali melancarkan jab-jab ringan sembari berlari lari kecil mengitari ring tinju selama pertandingan berlangsung. Tentu ini membutuhkan napas dan stamina yang teramat sangat luar biasa.


DIALOG: ESENSI MUSIK JAZZ
Jazz sejati juga bukan sebuah pertunjukan seperti Musik Klasik. Yang pemusiknya hadir di panggung, beri hormat pada penonton yang duduk dengan diam dan tertib, kemudian tanpa ba bi bu langsung main. Jazz sejati adalah sebuah seni agitatif. Jazz sejati dalam pagelarannya membutuhkan antusiasme dan respon publik. Celotehan kecil, teriakan kagum sampai pekikan orgasme seringkali dan acapkali mewarnai pertunjukan Jazz sejati. Esensi Jazz pun, tak semata dinilai dari performansi yang tanpa salah. Melainkan lebih kepada dialog antar para pemainnya. Dialog yang bisa menjadi sangat melebar dengan improvisasi, namun koridor tematiknya senantiasa terjaga.

SISI LAIN SENI TINJU: BUKAN SEKEDAR ADU OTOT
Sepanjang hidupnya, Muhammad Ali kerap menjadi duta bangsa dan bahkan duta dunia untuk misi perdamaian. Cukup mengherankan, bagaimana bintang olah raga berantem dapat menjadi duta damai. Tapi itulah Muhammad Ali. Dengan kepandaiannya, daya pikat karismanya, serta mutu omongan yang cerdas dan politis, Ali berhasil mengunggah sisi lain dari olah raga Tinju. Bukan semata-mata olah raga adu otot, melainkan olah raga lelaki sejati yang berseni dan bisa menjadi komoditas lobi politis.

Jazz pun demikian. Diskriminasi rasial Amerika, secara politis runtuh ketika orang kulit putih bersama-sama dengan kulit hitam memainkan Musik Jazz. Seorang Bill Clinton mempergunakan permainan Jazz Saxophone nya untuk keperluan lobi politis. Presiden Obama pun kerapkali mendatangkan musisi Jazz untuk melakukan pengkondisian di Gedung Putih dalam pertemuan politisnya.

FILM “THE GREATEST”
Ranah seni sebetulnya juga telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kegemilangan sosok dan karir Muhammad Ali. Tahun 1977, dibuat film berjudul “THE GREATEST”. Disutradari oleh Tom Gries dan Monte Hellman. Film tersebut adalah sebuah biografi. Menceritakan karir Ali sejak merebut medali emas Olimpiade di tahun 1960 sampai ketika ia merebut gelar juara dunia kelas berat tahun 1974 dari tangan George Foreman. Dalam sebuah pertarungan yang akan dikenang sepanjang masa oleh dunia tinju, dan dikenal sebagai “RUMBLE IN THE JUNGLE,” KARENA BERLANGSUNG DI KINSHASHA, AFRIKA. Ali membintangi dirinya sendiri dalam film tersebut. Salah satu hal yang sangat mengesankan di film tersebut adalah adanya lagu “THE GREATEST LOVE OF ALL” yang kemudian menjadi lagu Pop termanis dan terinspiratif sepanjang masa.


THE GREATEST LOVE OF ALL
The Greatest Love of All, lagunya dikarang oleh Michael Masser. Liriknya yang sangat menggugah dan inspiratif, ditulis oleh Linda Creed. Lagu ini dipopulerkan oleh George Benson di tahun 1977, dalam sebuah single piringan hitam yang diproduksi ARISTA RECORD. Lagu ini segera melejit menempati papan atas dalam chart lagu populer dan bertahan cukup lama.

George Benson sendiri dikenal sebagai sosok legenda Jazz. Benson adalah seorang gitaris, penyanyi, pengarang lagu, dan juga pembawa gaya bermain Jazz yang sampai sekarang masih ditiru banyak pemusik. Yakni “Scat and Pluck”. Benson berimprovisasi lewat mulut sekaligus mengalun nada yang sama dengan gitarnya. Gaya petikan gitar Benson sebetulnya adalah adaptasi dari gaya bermain gitar Django Reinhardt.

Gaya Scat and Pluck ini diikuti oleh Toots Thielemans, namun bukan dengan scat melainkan whistling atau bersiul. Di Indonesia, pemusik Mus Mujiono melakukan teknik George Benson. Mendengar George Benson membawakan lagu The Greatest Love of All, sama saja dengan mendengar seorang legenda yang berkisah tentang sosok legenda yang lain, yakni Ali sang legenda tinju.


Pada tahun 1985, Whitney Houston membawakan The Greates Love of All dengan cover baru yang sungguh amat cantik, manis, menawan, passionate, inspiratif, dan indah secara total. Saat dibawakan Whitney Houston, judul lagu mengalami perubahan menjadi Greatest Love of All. Kata sandang THE dihilangkan, yang berarti bahwa lagu tersebut tidak lagi ditujukan sebagai predikat Muhammad Ali, melainkan lebih bersifat universal.

PERJUANGAN MELAWAN PENYAKIT PARKINSON
Di akhir hidupnya, Muhammad Ali menderita penyakit Parkinson selama hampir dua puluh tahun menjelang kematiannya. Namun perjuangannya mengatasi penyakit tersebut menginspirasi banyak orang. Jazz pun, dimasa sekarang sedang mengalami sakit parkinson. Jazz kebingungan. Filosofi pemberontakannya nampak sudah usang oleh derap dan degup kemajuan zaman. Dialog improvisasinya kalah lantang dibanding gaya hidup modern yang hedonis. Penggemar Jazz semakin surut. Generasi sekarang seperti sudah tercerabut dari akar budaya Jazz yang sejati. Namun, marilah kita ingat kata promotor dunia, DON KING yang juga turut membesarkan nama Muhammad Ali.


Muhammad Ali telah meninggal dunia. Namun spiritnya akan tetap menginspirasi umat manusia sampai kapan pun. Begitu pula dengan JAZZ. JAZZ boleh saja sepi dan mati. Namun dunia takkan pernah lupa, bahwa ada satu budaya yang marjinal, namun dapat turut mengukir jalannya sejarah.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.