Wednesday 1 March 2017

SECANGKIR KOPI & IDE KOMPOSISI - by: Michael Gunadi (Staccato, March 2017)

“SECANGKIR KOPI & IDE KOMPOSISI”
PERJALANAN MENCARI ILHAM 
DALAM BERMAIN MUSIK DAN MENGKOMPOSISI
By: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, March 2017


IDE DALAM BERMAIN MUSIK
Bermain musik itu membutuhkan ide. Dalam taraf tertentu, Anda tidak bisa lagi hanya memainkan berdasarkan partitur yang Anda baca. “Pokoknya main slamet nggak salah dari ujung ke ujung. Kelar deh!” Itu kalau Anda sedang bermain-main dengan musik. Jika Anda MEMAINKAN musik, Anda butuh ide. Musik apapun. Bahkan Musik Klasik, yang aturannya harus presisi, baku, kaku, dan sakelijk (kata orang Belanda) - masih membuka ruang untuk ide performansi.

Anda tetap butuh ide untuk pendekatan musikal atau musical approach. Anda butuh ide untuk membuat nuansa, agar musik yang Anda mainkan tidak beku dan terasa membosankan. Anda butuh ide agar yang mendengar dan mendengarkan musik Anda, mendapat sesuatu untuk setidaknya dibawa pulang.

Jika Anda main Musik Klasik di panggung, jelas lebih banyak lagi ide yang harus Anda cari, gali, permenungkan, dan renungkan. Sampai pakaian dalam pun sebetulnya butuh ide. Bagaimana pakaian dalam yang membuat Anda nyaman, percaya diri, dan mengangkat pamor penampilan Anda dalam memainkan Musik Klasik. Pertanyaannya: DARIMANA DATANGNYA IDE untuk hal sedemikian?



Selain memainkan musik, untuk mengarang musik pun, jelas kita membutuhkan ide. Almarhum mas Slamet Abdul Sjukur, ketika mendampingi saya di Selandia Baru dalam rangka mewakili Indonesia dalam Liga Komposer Asia Pasifik, berbicara begini: Mas Michael…. Mengarang musik itu sebetulnya gampang. Malah lebih gampang ketimbang menggoreng telur, lho!” Saya saat itu hanya senyum simpul saja. Dan memang, mengarang musik itu tidak sulit. Apalagi mengarang musik TONAL. Musik tonal itu gampangnya ya seperti musik-musik yang sering kita dengar. Yang bunyinya nggak aneh-aneh.

ILMU DAN TEKNIK KOMPOSISI
Meski gampang, mengarang musik itu ada tekniknya. Bidang khusus yang mempelajari teknik mengarang musik, lazim dikenal sebagai ILMU KOMPOSISI. Jadi, dalam ilmu komposisi jelas terdapat TEKNIK komposisi.

Untuk musik tonal, jika Anda sudah memiliki jam terbang 10.000 jam, maka Anda sudah dikatakan mahir dalam komposisi musik tonal. Dalam 10.000 jam itu, Anda sudah khatam dan khafal segala alur kontrapung, kadens, harmoni penyelesaian baik yang tuntas maupun tersendat, modus-modus, dan segala macamnya.

TETAPI itu hanya untuk TEKNIK nya saja. Perkara hasil komposisinya disukai orang dan laris atau bangkrut, itu lain cerita. Pertanyaannya: Apakah Anda punya waktu 10.000 jam itu? Dan apakah dengan teknik mahir saja sudah cukup?

KEDANGKALAN INDUSTRIALISASI
Dunia seni itu dunia ide-ide. Musik yang adalah seni itu sendiri tentu harus bergumul, bergulat, bersetubuh menyatu tanpa syarat, pasrah, menerima total dalam dunia ide-ide. Di zaman sekarang, seni pertunjukan, dikuasai oleh ide-ide bukan hasil perenungan dan permenungan. Melainkan ide dari kedangkalan industrialisasi dan hasrat hegemoni uang.

Anda boleh sakti mandraguna dalam bermain piano. Tapi jika body Anda kurus kerempeng dan wajah Anda tidak menjual. Sampai dunia kiamat 7x Anda nggak bakalan bisa jadi artis. Sebaliknya, mungkin Anda cuma bisa main Für Elise, tapi Anda berani buka dada dan paha serta wajah Anda bak sungai aliran dollar. Dalam sekejap Anda akan menjadi MEGASTAR.

WAJAH KOMPOSER KONSERVATIF MASA KINI
Berbeda dengan ranah mengarang musik atau komposisi. Di tengah arus industri dan hegemoni uang, masih ada saja orang ketinggalan zaman, yang masih tetap mau mengarang musik dengan ide hasil perenungan dan permenungan. Mereka itu adalah tokoh-tokoh seperti ENNIO MORRICONE, TAN DUNN, dan JOHN WILLIAM (bukan John William gitaris ya. Yang gitaris itu JOHN CHRISTOPHER WILLIAM).

Tokoh-tokoh seperti mereka, masih bisa mengangkat pamor seni mengarang musik. Bahwa mengarang musik itu bagian dari keluhuran jiwa, pikiran bening, hasrat membara, dan birahi yang agung terkendali. Mengarang musik bukan cuma urusan buka bra dan mengibarkan celana dalam. Keluhuran jiwa, pikiran bening, hasrat membara, dan birahi yang terkendali, sudah tentu merupakan perilaku olahan terhadap dunia ide-ide. Mungkin akan menjadi menarik, jika kita telisik sejenak bagaimana para pengarang musik atau komposer itu memperoleh ide-idenya.



ASAL MUASAL IDE MENGKOMPOSISI
Mungkin masih banyak yang mengira, bahwa ide komposisi musik datang bagai buah emas dari langit ke tujuh. Banyak yang engira bahwa ide komposisi musik adalah sebuah keniscayaan. Ide komposisi musik adalah hal aneh yang harus ditempuh lewat upaya pencarian ide bagaikan seorang pertapa. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah. Namun jangan heran jika di depan Anda akan terpapar kenyataan bahwa ide komposisi musik datang dari sebuah KEBIASAAN. Kebiasaan yang teratur dan berulang-ulang.

Para pelaku, penikmat, pencinta, dan pemerhati musik klasik, tentu tidak asing dengan Johann Sebastian Bach. Bagi komposer seperti Bach, mengarang atau mengkomposisi musik, adalah sebuah kegiatan rutin sebagaimana makan, minum, pergi ke WC dan tidur. Dunia ide dalam pribadi Bach, bukanlah sebuah momentum spektakuler. Bagi Bach, mengarang musik adalah hidup itu sendiri.



BACH & BEETHOVEN: STIMULUS SECANGKIR KOPI
Sudah tentu, dunia ide-ide Johann Sebastian Bach memerlukan stimulus untuk dapat muncul dan digarap. Stimulus nya adalah KOPI. Ya, secangkir kopi. Bach adalah penikmat dan bahkan pecandu kopi sejati. Kegemarannya terhadap kopi, dituangkan menjadi sebuah karya yakni KANTATA KOPI.



Sebetulnya, karya tersebut bukanlah bentuk CANTATA (lagu yang menonjolkan keterampilan menyanyi) sebagaimana yang lazim dikenal. Bentuk karya tersebut lebih pas disebut sebagai OPERA KOMIK. Dimana Bach dengan gaya komik, berkisah, dan menyindir tentang perlakuan beberapa kelompok masyarakat terhadap para pencinta kopi.


Selain Bach, Beethoven juga adalah salah seorang komposer akbar yang ide garapannya di stimulus dengan secangkir kopi. Hanya saja khusus untuk Beethoven, biji kopinya selalu dan selalu serta selalu dia hitung satu persatu sampai berjumlah 60 biji. Aneh bukan? Selain tentang stimulus secangkir kopi, kebiasaan hidup Beethoven lumayan menarik untuk kita simak.



Dari gambar aktifitas kehidupan Beethoven, bisa kita dapati bahwa: Beethoven selalu menyediakan waktu khusus secara rutin untuk membuat komposisi. Waktu khusus ini, seperti yang sudah saya kemukakan di awal tulisan, adalah semacam latihan. Agar jam terbang teknik komposisinya semakin matang. Bisa dibaca juga dalam gambar, bahwa setiap kali nongkrtong di arung (Tavern), Beethoven senantiasa membawa gulungan kertas. Untuk membuat sketsa komposisi, manakala tiba-tiba menangkap ide.


SCHUBERT: RUTIN MENGKOMPOSISI SETIAP HARI
Lain Beethoven, lain pula Franz Schubert. Schubert terkenal dengan gaya hidupnya yang tertata rapih dan jarang nongkrong di warung. Tidak seperti Beethoven yang dengan aneh mondar-mandir sembari nongkrong di warung. Schubert dengan kacamata bulat nya, memiliki kebiasaan rutinitas terpola. Bangun pagi, mandi, sarapan, dan mengkomposisi. Pola kebiasaan tersebut sudah barang tentu untuk membiasakan bathin menjadi terasah. Terasah hingga peka menangkap ide-ide yang berseliweran bagai lalat.

Untuk mengantisipasi ide yang bisa secara mendadak dan tiba-tiba, berbeda dengan Beethoven yang selalu sedia gulungan kertas, Schubert memajang gitar kecil di samping ranjangnya. Agar tatkala muncul ide, Schubert tinggal ber ting ting ting mengkonsep musik melalui gitar kecil.


MOZART: FANTASI DALAM MENGKOMPOSISI
Dunia ide, kebiasaan, dan karya memang membutuhkan stimulus. Bagi Bach dan Beethoven, stimulusnya adalah SECANGKIR KOPI. Schubert menstimulasi diri dengan keteraturan. Lalu bagaimana dengan si WOLFGANG AMADEUS MOZART? Beberapa karya besar Mozart untuk clarinet konserto dan opera, juga muncul dengan stimulasi kopi dan cerutu kwalitas terbaik.

Namun Ini yang agak mengerikan: ide komposisi Mozart muncul dari kebiasaannya BERFANTASI DALAM SEX. Mozart gemar sekali menuliskan kata dan kalimat yang sangat cabul dan dikirimkan ke beberapa perempuan yang disukainya. Stimulus dan kebiasaannya juga sangat dipengaruhi suara perempuan yang melengking seperti kucing. Mozart juga memiliki kegemaran untuk meremas dada dan pantat perempuan.

Oleh sebab itu saya agak bingung jika di zaman sekarang ada beberapa sekolah musik yang mengadakan festival, Mozart untuk ANAK ANAK. Musik Mozart memang luar biasa, namun personalitas yang menjadi jiwa musiknya, sama sekali bukan untuk konsumsi anak-anak.

KEBIASAAN UNIK DALAM MENCARI ILHAM
Selain Mozart, banyak komposer besar yang memiliki kebiasaan aneh. Ada yang menjadikan kebiasaannya itu sebagai stimulus ide, ada pula yang hanya merupakan sebuah kelainan psikosis. Antonin Dvorak misalnya. Sangat terobsesi dengan bentuk dan bunyi lokomotif kereta.

Kemudian ada Edvard Grieg yang harus selalu mengelus elus boneka kayu kecil berbentuk kodok. Ada pula George Gershwin. Kebiasaan dan stimulusnya adalah merayu dan mendapatkan perempuan. Salah satu ucapan Gershwin kemudian menjadi semacam CREDO bagi para komposer yang bergaya hidup hedonis. KALAU BISA DAPAT BANYAK PEREMPUAN, KENAPA SAYA HARUS SETIA HANYA PADA SATU PEREMPUAN?” Gubraaaaaaaaakkkk … Waaaahhh …. Bisa kelar hidup loe ciiiing …..

FILOSOFI KOMPOSISI DI INDONESIA
Sampai disini, kita berbicara tentang ide dan kebiasaan dari beberapa komposer akbar dan terkemuka untuk musik SENI. Akan sangat lain ceritanya jika kita berbicara ide dan kebiasaan dalam ranah mengarang Musik Pop misalnya. Mungkin terbersit dalam benak pembaca, lha yang Indonesia, ada nggak ya komposernya?

Saya dapat nukilkan sedikit tentang komposer akbar kontemporer yang pernah kita miliki. Mas Slamet Abdul Sjukur (Alm.) Bagi Beliau, membuat musik itu seperti masak nasi dan nggoreng telur. Mengarang musik itu seperti menulis kesan dan pesan. Mengarang musik itu sebagaimana kita menulis buku harian. AKAN TETAPI Mas Slamet tetap menjalani kebiasaan sebagaimana Beethoven dan Schubert. Yakni, sebuah waktu yang teratur dan tertentu untuk mengasah bathin dan teknik komposisi.

Demikian juga dengan Mas Sapto Rahardjo. Senantiasa ada waktu khusus yang tetap dan teratur. Untuk dia bereksplorasi melalui komputer nya, sambil sesekali menerawang jauh ke depan dan mengepulkan asap rokok kretek yang nyaris tanpa henti.

PENUTUP
Sebagai penutup, saya ingin memberi stressing point tentang apa gunanya tahu hal-hal begini. Bahwa mengarang musik atau komposisi, bukanlah sebuah keajaiban dan keniscayaan. Komposisi mutlak perlu dilatih. Tanpa latihan, kita hanya akan jadi komposer tukang jiplak.

Bahwa komposisi perlu ide. Dan ide bisa datang dari kebiasaan. Dan bahwa kebiasaan perlu stimulus. Masalahnya, komposer itu manusia yang kadang bisa sangat unpredictable. Habituality nya bisa sangat aneh. Makanya jadilah selektif dalam memilih musik, terutama untuk anak-anak. Dan pahamilah bahwa musik, meski salah nggak bikin orang mati, bukan lah dagangan ecek-ecek yang bisa seenaknya dipandang dengan satu mata.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.